Kamis, Juni 09, 2011

Pendidikan Matematika Realistik


Realistic Mathematic Education (RME) atau Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia (PMRI)

Disusun Oleh :

Akhmad Mukhlas Riady, S.Pd

      Pembelajaran matematika realistik adalah padanan Realistic Mathematics Education (RME), sebuah pendekatan pembelajaran matematika yang dikembangkan Freudenthal di Belanda. Gravemeijer (1994: 82) mengungkapkan Realistic mathematics education is rooted in Freudenthal’s interpretation of mathematics as an activity.Ungkapan Gravemeijer di atas menunjukkan bahwa pembelajaran matematika realistic dikembangkan berdasar pandangan Freudenthal yang menyatakan matematika sebagai suatu aktivitas. Lebih lanjut Gravemeijer (1994: 82) menjelaskan bahwa yang dapat digolongkan sebagai aktivitas tersebut meliputi aktivitas pemecahan masalah, mencari masalah dan mengorganisasi pokok persoalan. Menurut Freudenthal aktivitas-aktivitas itu disebut matematisasi.
       Terkait dengan konsep pembelajaran matematika realistik di atas Gravemeijer (1994: 91) menyatakan : Mathematics is viewed as an activity, a way of working.
Learning mathematics means doing mathematics, of which solving everyday life problem is an essential part. Gravemeijer menjelaskan bahwa dengan memandang matematika sebagai suatu aktivitas maka belajar matematika berarti bekerja dengan matematika dan pemecahan masalah hidup sehari-hari merupakan bagian penting dalam pembelajaran.
Konsep lain dari pembelajaran matematika realistik dikemukakan Treffers (dalam Fauzan, 2002: 33 – 34) dalam pernyataan berikut ini: “The key idea of RME is that children should be given the opportunity to reinvent mathematics under the guidance of an adult (teacher). In addition, the formal mathematical knowledge can be developed from children’s informal knowledge”.
Dalam ungkapan di atas Treffers menjelaskan ide kunci dari pembelajaran matematika realistik yang menekankan perlunya kesempatan bagi siswa untuk menemukan kembali matematika dengan bantuan orang dewasa (guru). Selain itu disebutkan pula bahwa pengetahuan matematika formal dapat dikembangkan (ditemukan kembali) berdasar pengetahuan informal yang dimiliki siswa.
       Pernyataan-pernyataan yang dikemukakan di atas menjelaskan suatu cara pandang terhadap pembelajaran matamatika yang ditempatkan sebagai suatu proses bagi siswa untuk menemukan sendiri pengetahuan matematika berdasar pengetahuan informal yang dimilikinya.
Dalam pandangan ini matematika disajikan bukan sebagai barang “jadi” yang dapat dipindahkan oleh guru ke dalam pikiran siswa.
      
Terkait dengan aktivitas matematisasi dalam belajar matematika, Freudenthal (dalam Panhuizen, 1996: 11) menyebutkan dua jenis matematisasi yaitu matematisasi horisontal dan vertikal dengan penjelasan seperti berikut ini: “Horizontal mathematization involves going from the world of life into the world of symbol, while vertical mathematization means moving within the world of symbol”.
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa matematisasi horisontal menyangkut proses transformasi masalah nyata/
sehari-hari ke dalam bentuk simbol. Sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses yang terjadi dalam lingkup simbol matematika itu sendiri. Contoh matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian, perumusan dan pemvisualisasian masalah dengan cara-cara yang berbeda oleh siswa. Sedangkan contoh matematisasi vertikal adalah presentasi hubungan-hubungan dalam rumus, menghaluskan dan menyesuaikan model matematika, penggunaan model-model yang berbeda, perumusan model matematika dan penggeneralisasian.
Mengacu kepada dua jenis kegiatan matematisasi di atas de Lange (1987: 101) mengidentifikasi empat pendekatan yang dipakai dalam mengajarkan matematika, yaitu pendekatan mekanistik, empiristik, strukturalistik dan realistik. Pengkategorian keempat pendekatan tersebut didasarkan pada penekanan atau keberadaan dua aspek matematisasi (horisontal atau vertikal) dalam masing-masing pendekatan tersebut, seperti yang tergambar dalam Tabel 2.1. di bawah.
Tabel 2. 1 Matematisasi horisontal dan vertikal
dalam pendekatan-pendekatan matematika
Jenis Pendekatan
Matematika Horizontal
Matematika Vertikal
Mekanistik
-
-
Empristik
+
-
Strukturalistik
-
+
Realistik
+
+
Tanda “+” berarti perhatian besar yang diberikan oleh suatu jenis “-pendekatan terhadap jenis matematisasi tertentu, sedangkan tanda “  berarti kecil atau tidak ada sama sekali tekanan suatu jenis pendekatan terhadap jenis matematisasi tertentu. Berdasar hal ini tampak bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik memberi perhatian yang cukup besar, baik pada kegiatan matematisasi horisontal maupun vertikal jika dibandingkan dengan tiga pendekatan yang lain.
         Esensi lain pembelajaran matematika realistik adalah tiga prinsip kunci yang dapat dijadikan dasar dalam merancang pembelajaran.
Gravemeijer (1994: 90) menyebutkan tiga prinsip tersebut, yaitu (1) guided reinvention and progressive mathematizing (2) didactical phenomenology dan (3) self-developed models.
1.  Guided reinvention and progressive mathematizing. Menurut Gravemijer (1994: 90), berdasar prinsip reinvention, para siswa semestinya diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses saat matematika ditemukan.
Sejarah matematika dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam merancang materi pelajaran. Selain itu prinsip reinvention dapat pula dikembangkan berdasar prosedur penyelesaian informal. Dalam hal ini strategi informal dapat dipahami untuk mengantisipasi prosedur penyelesaian formal. Untuk keperluan tersebut maka perlu ditemukan masalah kontekstual yang dapat menyediakan beragam prosedur penyelesaian serta mengindikasikan rute pembelajaran yang berangkat dari tingkat belajar matematika secara nyata ke tingkat belajar matematika secara formal (progressive mathematizing)
2. Didactical phenomenology. Gravemeijer (1994: 90) menyatakan, berdasar prinsip ini penyajian topik-topik matematika yang termuat dalam pembelajaran matematika realistik disajikan atas dua pertimbangan yaitu (i) memunculkan ragam aplikasi yang harus diantisipasi dalam proses pembelajaran dan (ii) kesesuaiannya sebagai hal yang berpengaruh dalam proses progressive mathematizing.
3. Self-developed models, Gravemeijer (1994: 91) menjelaskan, berdasar prinsip ini saat mengerjakan masalah kontekstual siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan model mereka sendiri yang berfungsi untuk menjembatani jurang antara pengetahuan informal dan matematika formal. Pada tahap awal siswa mengembangkan model yang diakrabinya. Selanjutnya melalui generalisasi dan pemformalan akhirnya model tersebut menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh ada (entity) yang dimiliki siswa.
Untuk kepentingan di tingkat operasional, tiga prinsip di atas selanjutnya dijabarkan menjadi lima karakteristik pembelajaran matematika sebagai berikut ini. Karena hal ini maka beberapa di antara karakteristik berikut ini akan
muncul dalam pembelajaran matematika. Menurut Soedjadi (2001: 3) pembelajaran matematika realistik mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut:
1. Menggunakan konteks, artinya dalam pembelajaran matematika realistik lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai bagian materi belajar yang kontekstual bagi siswa.
2. Menggunakan model, artinya permasalahan atau ide dalam matematika dapat dinyatakan dalam bentuk model, baik model dari situasi nyata maupun model yang mengarah ke tingkat abstrak.
3. Menggunakan kontribusi siswa, artinya pemecahan masalah atau penemuan konsep didasarkan pada sumbangan gagasan siswa.
4. Interaktif, artinya aktivitas proses pembelajaran dibangun oleh interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan sebagainya.
5. Intertwin, artinya topik-topik yang berbeda dapat diintegrasikan sehingga dapat memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara serentak.
Dengan mengkaji secara mendalam prinsip dan karakteristik pembelajaran matematika realistik tampak bahwa pendekatan ini dikembangkan berlandaskan pada filsafat kontruktivisme. Paham ini berpandangan bahwa pengetahuan dibangun sendiri oleh orang yang belajar secara aktif. Penanaman suatu konsep tidak dapat dilakukan dengan mentransferkan konsep itu dari satu orang ke orang lain. Tetapi seseorang yang sedang belajar semestinya diberi keleluasaan dan dorongan untuk mengekspresikan pikirannya dalam mengkonstruk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri. Aktivitas ini dapat terjadi dengan cara memberikan permasalahan kepada siswa. Permasalahan tersebut adalah permasalahan yang telah diakrabi siswa dalam kehidupannya. Sebagai akibat dari peningkatan aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika realistik adalah berkurangnya dominasi guru. Dalam pendekatan ini guru lebih berfungsi sebagai fasilitator.
A. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik
Meninjau karakteristik interaktif dalam pembelajaran matematika realistik di atas tampak perlu sebuah rancangan pembelajaran yang mampu membangun interaksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, atau siswa dengan lingkungannya. Dalam hal ini, Asikin (2001: 3) berpandangan perlunya guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkomunikasikan ide-idenya melalui presentasi individu, kerja kelompok, diskusi kelompok, maupun diskusi kelas. Negosiasi dan evaluasi sesama siswa dan juga dengan guru adalah faktor belajar yang penting dalam pembelajaran konstruktif ini.
Implikasi dari adanya aspek sosial yang cukup tinggi dalam aktivitas belajar siswa tersebut maka guru perlu menentukan metode mengajar yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan tersebut. Salah satu metode mengajar yang dapat memenuhi tujuan tersebut adalah memasukkan kegiatan diskusi dalam pembelajaran siswa. Aktivitas diskusi dipandang mampu mendorong dan melancarkan interaksi antara anggota kelas. Menurut Kemp (1994: 169) diskusi adalah bentuk pengajaran tatap muka yang paling umum digunakan untuk saling tukar informasi, pikiran dan pendapat. Lebih dari itu dalam sebuah diskusi proses belajar yang berlangsung tidak hanya kegiatan yang bersifat mengingat informasi belaka, namun juga memungkinkan proses berfikir secara analisis, sintesis dan evaluasi. Selanjutnya perlu pula ditentukan bentuk diskusi yang hendak dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi kelas yang ada. Karena pembelajaran dalam rangka penelitian ini dilaksanakan dalam sebuah kelas yang pada umumnya beranggotakan 40 sampai 44 siswa dengan penempatan siswa yang sulit untuk membentuk kelompok diskusi besar, maka interaksi antar siswa dimunculkan melalui diskusi kelompok kecil secara berpasangan selain diskusi kelas.
        Mendasarkan pada kondisi kelas seperti uraian di atas serta beberapa karakteristik dan prinsip pembelajaran matematika realistik, maka langkah-langkah pembelajaran yang dilaksanakan dalam penelitian ini terdiri atas:
Langkah – 1. Memahami masalah kontekstual
Pada langkah ini guru menyajikan masalah kontekstual kepada siswa. Selanjutnya guru meminta siswa untuk memahami masalah itu terlebih dahulu.
Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul pada langkah ini adalah menggunakan konteks. Penggunaan konteks terlihat pada penyajian masalah kontekstual sebagai titik tolak aktivitas pembelajaran siswa.
Langkah – 2. Menjelaskan masalah kontekstual.
Langkah ini ditempuh saat siswa mengalami kesulitan memahami masalah kontekstual. Pada langkah ini guru memberikan bantuan dengan memberi petunjuk atau pertanyaan seperlunya yang dapat mengarahkan siswa untuk memahami masalah.
Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul pada langkah ini adalah interaktif, yaitu terjadinya interaksi antara guru dengan siswa maupun antara siswa dengan siswa. Sedangkan prinsip guided reinvention
setidaknya telah muncul ketika guru mencoba memberi arah kepada siswa dalam memahami masalah.
Langkah – 3. Menyelesaikan masalah kontekstual.
Pada tahap ini siswa didorong menyelesaikan masalah kontekstual secara individual berdasar kemampuannya dengan memanfaatkan petunjuk-petunjuk yang telah disediakan. Siswa mempunyai kebebasan menggunakan caranya sendiri. Dalam proses memecahkan masalah, sesungguhnya siswa dipancing atau diarahkan untuk berfikir menemukan atau mengkonstruksi pengetahuan untuk dirinya. Pada tahap ini dimungkinkan bagi guru untuk memberikan bantuan seperlunya (scaffolding) kepada siswa yang benar-benar memerlukan bantuan.
Pada tahap ini , dua prinsip pembelajaran matematika realistik yang dapat dimunculkan adalah guided reinvention and progressive mathematizing dan self-developed models. Sedangkan karakteristik yang dapat dimunculkan adalah penggunaan model. Dalam menyelesaikan masalah siswa mempunyai kebebasan membangun model atas masalah tersebut.
Langkah – 4. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Pada tahap ini guru mula-mula meminta siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban dengan pasangannya. Diskusi ini adalah wahana bagi sepasang siswa mendiskusikan jawaban masing-masing. Dari diskusi ini diharapkan muncul jawaban yang dapat disepakati oleh kedua siswa. Selanjutnya guru meminta siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban yang dimilikinya dalam diskusi kelas. Pada tahap ini guru menunjuk atau memberikan kesempatan kepada pasangan siswa untuk mengemukakan jawaban yang dimilikinya ke muka kelas dan mendorong siswa yang lain untuk mencermati dan menanggapi jawaban yang muncul di muka kelas.
Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul pada tahap ini adalah interaktif dan menggunakan kontribusi siswa. Interaksi dapat terjadi antara siswa dengan siswa juga antara guru dengan siswa. Dalam diskusi ini kontribusi siswa berguna dalam pemecahan masalah.
Langkah – 5. Menyimpulkan
Dari hasil diskusi kelas guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan mengenai pemecahan masalah, konsep, prosedur atau prinsip yang telah dibangun bersama.
Pada tahap ini karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul adalah interaktif serta menggunakan kontribusi siswa.

B. Teori Belajar yang Relevan dengan Pembelajaran Matematika Realistik
Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, pembelajaran matematika realistik dikembangkan dengan mengacu dan dijiwai oleh filsafat konstruktivis. Sedangkan menurut Soedjadi (1999: 156) kontruktivisme di bidang belajar dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan yang dikembangkan sejalan dengan teori psikologi kognitif. Inti dari konstruktivisme dalam bidang belajar adalah peranan besar yang dimiliki siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan yang bermakna bagi dirinya. Sedangkan guru memposisikan diri lebih sebagai fasilitator belajar. Beberapa teori belajar kognitif yang dipandang relevan dengan pendekatan pembelajaran matematika realistik adalah teori Piaget, teori Vygotsky, teori Ausubel dan teori Bruner.
1. Teori Piaget
Piaget (dalam Ibrahim, 1999:16) berpandangan bahwa, anak-anak memiliki potensi untuk mengembangkan intelektualnya. Pengembangan intelektual mereka bertolak dari rasa ingin tahu dan memahami dunia di sekitarnya. Pemahaman dan penghayatan tentang dunia sekitarnya akan mendorong pikiran mereka untuk membangun tampilan tentang dunia tersebut dalam otaknya. Tampilan yang merupakan struktur mental itu disebut skema atau skemata (jamak). Suparno (1997: 30) menggambarkan skema sebagai suatu jaringan konsep atau kategori. Dengan menggunakan skemanya, seseorang dapat memproses dan mengidentifikasi suatu rangsangan yang diterimanya sehingga ia dapat menempatkannya pada kategori/ konsep yang sesuai.
Piaget menyatakan bahwa prinsip dasar dari pengembangan pengetahuan seseorang adalah berlangsungnya adaptasi pikiran seseorang ke dalam realitas di sekitarnya. Proses adaptasi ini tidak terlepas dari keberadaan skema yang dimiliki orang tersebut serta melibatkan asimilasi, akomodasi dan equiliberation dalam pikirannya (Suparno,1997: 31). Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang dapat mengintegrasikan persepsi, konsep atau pengalaman baru ke dalam skema yang dimilikinya. Melalui asimilasi, skema seseorang berkembang namun tidak berubah. Dengan demikian perkembangan skema seseorang berarti terjadinya pengayaan persepsi dan pengetahuan seseorang atas dunia sekitarnya. Karena itu asimilasi dapat dipandang sebagai proses yang dilakukan individu untuk mengadaptasikan dan mengorganisasi diri ke dalam lingkungannya sehingga pengertianya berubah.
Proses kognitif asimilasi tidak selalu dapat dilakukan seseorang . Hal ini terjadi jika rangsangan baru yang diterimanya tidak sesuai dengan skema yang dimilikinya. Jika hal ini terjadi, maka akan dilakukan proses
akomodasi. Melalui proses akomodasi, pikiran seseorang akan membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan tersebut atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan tersebut (Suparno, 1997: 32).
Dalam mengembangkan pengetahuannya, proses asimilasi dan akomodasi terus berlangsung dalam diri seseorang. Keduanya terjadi tidak berdiri sendiri. Kedua proses ini berlangsung dalam keseimbangan yang diatur secara mekanis. Proses pengaturan keseimbangan ini disebut equilibrium (Suparno, 1997: 32). Namun dalam menerima suatu pengalaman baru dapat terjadi suatu keadaan sedemikian hingga terjadi ketidakseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Keadaan ini disebut sebagai dissequilibrium. Ketidakseimbangan ini muncul pada saat terjadi ketidaksesuaian antara pengalaman saat ini dengan pengalaman baru yang mengakibatkan akomodasi. Jika terjadi ketidakseimbangan maka seseorang dipacu untuk mencari keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Menurut Dahar (1991: 182) seseorang yang mampu memperoleh kembali keseimbangannya akan berada pada tingkat intelektual yang tinggi dari sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Teori Piaget memandang kenyataan atau pengetahuan bukan sebagai objek yang memang sudah jadi dan ada untuk dimiliki manusia, namun ia harus diperoleh melalui kegiatan konstruksi oleh manusia sendiri melalui proses pengadaptasian pikirannya ke dalam realitas di sekitarnya..
Lebih lanjut Piaget (dalam Atkinson, 1999: 96) menjelaskan bahwa dalam tahap-tahap perkembangan intelektualnya seorang anak sudah terlibat dalam proses berpikir dan mempertimbangkan kehidupannya secara logis. Proses berpikir tersebut berlangsung sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Agar perkembangan intelektual anak berlangsung optimal maka mereka perlu dimotivasi dan difasilitasi untuk membangun teori-teori yang menjelaskan tentang dunia sekitarnya (Ibrahim, 1999: 19). Berkaitan dengan upaya ini Piaget (dalam Ibrahim, 1999:18) berpendapat bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang melibatkan anak bereksperimen secara mandiri, dalam arti:
a. Mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi.
b. Memanipulasi tanda dan simbol
c. Mengajukan pertanyaan
d. Menemukan jawaban sendiri
e. Mencococokan apa yang telah ia temukan pada suatu saat dengan apa yang ia temukan pada saat yang lain
f. Membandingkan temuannya dengan temuan orang lain.
Pembelajaran matematika realistik merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang sejalan dengan pandangan Piaget di atas. Pembelajaran matematika realistik yang dikembangkan dengan berlandaskan pada filsafat konstruktivis, memandang pengetahuan dalam matematika bukanlah sebagai sesuatu yang sudah jadi dan siap diberikan kepada siswa, namun sebagai hasil konstruksi siswa yang sedang belajar. Karena itu, dalam pembelajaran matematika realistik siswa merupakan pusat dari proses pembelajaran itu sendiri, sedangkan guru berperan lebih sebagai fasilitator. Implikasi dari pandangan ini adalah keharusan bagi guru untuk memfasilitasi dan mendorong siswa untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Siswa harus didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan bagi dirinya. Untuk keperluan tersebut maka siswa perlu mendapat keleluasaan dalam mengekspresikan jalan pikirannya dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya.
Untuk mewujudkan situasi dan kondisi belajar yang demikian maka dalam mengelola pembelajaran guru perlu memperhatikan beberapa pandangan Piaget. Diantaranya adalah guru perlu mendorong siswa untuk berani mencoba berbagai kemungkinan cara untuk memahami dan menyelesaikan masalah. Dalam ini aktivitas mengkonstruksi pengetahuan oleh siswa diwujudkan dengan memberikan masalah kontekstual. Masalah kontekstual tersebut dirancang sedemikian hingga memungkinkan siswa untuk membangun pengetahuannya secara mandiri.
2. Teori Vygotsky
Matthews dan O’Loughlin (dalam Suparno, 1997: 41) berpendapat bahwa teori Piaget dikembangkan dengan penekanan yang lebih pada aspek personal. Teori ini dipandang terlalu subjektif dan kurang sosial, sehingga faktor masyarakat dan lingkungan kurang diperhatikan dalam proses pengembangan intelektual seorang anak.
Berbeda dengan Piaget, Vygotsky (dalam Ibrahim, 1999: 18) berpendapat bahwa proses pembentukan dan pengembangan pengetahuan anak tidak terlepas dari faktor interaksi sosialnya. Melalui interaksi dengan teman dan lingkungannya, seorang anak terbantu perkembangan intelektualnya. Pandangan Vygotsky tentang arti penting interaksi sosial dalam perkembangan intelektual anak tampak dari empat ide kunci yang membangun teorinya.
a. Penekanan pada hakikat sosial
Ide kunci pertama ini menjelaskan pandangan Vygotsky tentang arti penting interaksi sosial dalam proses belajar
anak. Vygotsky (dalam Nur, 1999: 3) mengemukakan bahwa anak belajar melalui interaksi dengan orang dewasa atau teman sebayanya. Dalam proses belajar yang demikian, seorang anak yang sedang belajar tidak hanya menyampaikan pengertiannya atas suatu masalah kepada dirinya sendiri namun ia juga dapat menyampaikannya pada orang lain di sekitarnya. Pembelajaran kooperatif yang terjalin oleh intraksi sosial peserta belajar memberi manfaat berupa hasil belajar yang terbuka untuk seluruh siswa dan proses berpikir siswa lain terbuka untuk siswa yang lain.
b. Wilayah perkembangan terdekat (zone of proximal development).
Vygotsky menjelaskan adanya dua tingkat perkembangan intelektual, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Pada tingkat perkembangan aktual seseorang sudah mampu untuk belajar atau memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan yang ada pada dirinya pada saat itu. Sedangkan tingkat perkembangan potensial adalah tingkat perkembangan intelektual yang dicapai seseorang dengan bantuan orang lain yang lebih mampu. Tingkat perkembangan potensial terletak di atas tingkat perkembangan aktual seseorang. Perubahan dari tingkat perkembangan aktual menuju ke tingkat perkembangan potensial tidak terjadi secara langsung dan otomatis. Perubahan itu berlangsung dengan melalui proses belajar yang terjadi pada wilayah perkembangan terdekat. Wilayah perkembangan terdekat terletak sedikit di atas perkembangan aktual seseorang. Menurut Slavin (1994: 49) seorang anak yang bekerja dalam wilayah perkembangan terdekat terlibat dalam tugas-tugas yang tidak mampu diselesaikannya sendiri. Ia memerlukan kehadiran orang yang lebih mampu untuk membantunya. Dengan mengerjakan serangkaian tugas belajar di wilayah perkembangan terdekat seorang anak diharapkan mencapai tingkat kecakapan tertentu pada waktu selanjutnya. Dengan demikian proses belajar di wilayah perkembangan terdekat dapat dipandang sebagai suatu proses transisi atau peralihan dari tingkat perkembangan aktual ke tingkat perkembangan potensial.
c. Pemagangan kognitif (cognitive apprenticeship)
Ide kunci ini adalah gabungan dua ide kunci yang pertama, yaitu hakikat sosial dan perkembangan daerah terdekat . Menurut Vygotsky, dalam proses pemagangan kognitif seorang siswa secara bertahap mencapai kepakaran dalam interaksinya dengan seorang pakar, orang dewasa atau teman sebayanya dengan pengetahuan yang lebih (Nur, 1999: 5). Implementasi dari ide ini adalah pembentukan kelompok belajar kooperatif heterogen sehingga siswa yang lebih pandai dapat membantu siswa yang kurang pandai dalam menyelesaikan tugasnya.
d. Perancahan (Scaffolding)
Scaffolding atau perancahan (anak tangga) adalah suatu prinsip yang mengacu kepada bantuan yang diberikan oleh orang dewasa atau teman sebaya yang kompeten. Dalam proses pembelajaran bantuan itu diberikan kepada siswa dalam bentuk sejumlah besar dukungan pada tahap awal pembelajaran. Selanjutnya bantuan itu makin berkurang dan pada akhirnya tidak ada sama sekali sehingga anak mengambil alih tanggung jawab secara penuh terhadap apa yang dikerjakan setelah ia mampu melakukannya (Slavin, 1997: 48).
Ide kunci ini menjelaskan pandangan Vygotsky tentang perlunya pemberian tugas-tugas komplek, sulit dan realistik kepada siswa. Melalui pemecahan masalah dalam tugas yang diterimanya, seorang siswa diharapkan dapat menemukan keterampilan-keterampilan dasar yang berguna bagi dirinya. Dengan demikian pembelajaran yang terjadi lebih menekankan pada model pengajaran top-down (Nur, 1999: 5). Pembelajaran yang demikian berlawanan dengan model bottom-up tradisional, dimana keterampilan-keterampilan dasar diberikan secara bertahap untuk mewujudkan keterampilan yang lebih kompleks.
Implikasi yang muncul atas pandangan Vygotsky dalam pendidikan anak adalah perlu adanya suatu dorongan kepada siswa untuk berinteraksi dengan orang di sekitarnya yang punya pengetahuan lebih baik yang dapat memberikan bantuan dalam pengembangan intelektualnya. Lebih luas daripada itu, para konstruktivis menekankan agar para pendidik memperhatikan keberadaan situasi sekolah, masyarakat dan teman di sekitar seseorang yang dapat mempengaruhi pengembangan intelektual seorang siswa (Cobb dalam Suparno, 1997: 96).
Salah satu karakteristik dalam pembelajaran matematika realistik adalah penemuan konsep dan pemecahan masalah sebagai hasil sumbang gagasan para siswa. Kontribusi gagasan tersebut dapat diwujudkan melalui proses pembelajaran yang di dalamnya terdapat interaksi antara siswa dengan siswa, antara siswa dengan guru atau antara siswa dengan lingkungannya. Dengan demikian, selain ada aktivitas mental yang bersifat personal, dalam pembelajaran matematika realistik guru perlu mendorong munculnya interaksi sosial antar anggota kelas dalam proses mengkonstruk pengetahuan. Melalui interaksi sosial tersebut siswa yang lebih mampu berkesempatan menyampaikan pemahaman yang dimilikinya pada siswa lain yang lebih lemah. Hal ini memungkinkan bagi siswa yang lebih lemah tersebut memperoleh peningkatan dari perkembangan aktual ke perkembangan potensial atas bantuan siswa yang lebih mampu. Sedangkan di sisi lain guru mempunyai peran dalam membantu siswa yang
mengalami kesulitan dengan memberi arah, petunjuk, peringatan dan dorongan. Dengan demikian tampak bahwa proses pembelajaran matematika realistik sejalan dengan teori Vygotsky yang memberi tekanan pada pentingnya interaksi sosial dalam perkembangan intelektual anak.
Dalam hal ini, interkasi sosial antar anggota kelas diwujudkan melalui tahap mendiskusikan dan menegosiasikan penyelesaian masalah di tingkat kelompok maupun tingkat kelas. Dalam diskusi kelompok maupun kelas tersebut guru perlu mendorong semangat saling berbagi dan menghargai pandangan pihak lain. Sedangkan interaksi yang dapat dibangun oleh guru dengan para siswa adalah dengan memberikan bantuan seperlunya tanpa harus membatasi keleluasaan siswa mengekspresikan ide-idenya.
3. Teori Ausubel
Ausubel, Noval dan Hanesian menggolongkan belajar atas dua jenis yaitu belajar menghafal dan belajar bermakna (Suparno, 1997: 53). Menurut Nur (1999: 38) belajar menghafal mengacu pada penghafalan fakta-fakta atau hubungan-hubungan, misal tabel perkalian dan lambang-lambang atom kimia. Sedangkan menurut Ausubel belajar dikatakan bermakna jika informasi yang akan dipelajari siswa disusun sesuai dengan struktur kognitifnya sehingga siswa tersebut mengkaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya (Hudojo, 1988: 61).
Menurut Parreren melalui belajar bermakna struktur konsep yang dimiliki seseorang mengalami perkembangan. Selain itu konsep-konsep yang terhubung satu dengan yang lain secara bermakna melahirkan kaidah yang berguna dalam pemecahan masalah (Winkel, 1991: 57). Pandangan ini sejalan dengan pendapat yang menyebutkan bahwa pengetahuan yang dipelajari secara bermakna akan memungkinkan untuk diterapkan ke situasi yang lebih luas dalam kehidupan nyata (Nur, 1999: 34).
Berlawanan dengan penjelasan di atas, jika pengetahuan yang semestinya dapat diajarkan secara bermakna tetapi diajarkan dengan menghafal akan menghasilkan pengetahuan inert. Pengetahuan inert adalah pengetahuan yang sesungguhnya dapat diterapkan untuk situasi yang lebih umum, tetapi pada kenyataannya hanya dapat diterapkan dalam situasi khusus (Nur, 1999: 38). Siswa yang hanya menghafal suatu konsep tanpa benar-benar mengerti isinya merupakan bentuk dari korban verbalisme (Winkel, 1991: 58).
Salah satu karakteristik pembelajaran matematika realistik adalah penggunaan konteks. Penggunaan konteks dalam pembelajaran matematika realistik berarti bahwa lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai bagian materi belajar bagi siswa. Apa yang terjadi di sekitar siswa maupun pengetahuan yang dimiliki siswa merupakan bahan yang berharga untuk dijadikan sebagai permasalahan kontekstual yang menjadi titik tolak aktivitas berfikir siswa. Permasalahan yang demikian lebih bermakna bagi siswa karena masih berada dalam jangkauan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya. Oleh sebab itu, untuk memecahkan masalah kontekstual seorang siswa harus dapat mengkaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan permasalahan tersebut. Dengan demikian seorang siswa akan berhasil memecahkan masalah kontekstual jika ia mempunyai cukup pengetahuan yang terkait dengan masalah tersebut. Selain itu siswa juga harus dapat menerapkan pengetahuan yang telah dimilikinya untuk menyelesaikan masalah kontekstual tersebut. Dengan demikian penyajian masalah kontekstual untuk siswa dalam pembelajaran matematika realistik sejalan dengan teori belajar bermakna Ausubel.
4. Teori Bruner
Bruner (dalam Hudojo, 1988: 56) berpendapat bahwa belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur tersebut. Menurut Bruner pemahaman atas suatu konsep beserta strukturnya menjadikan materi itu lebih mudah diingat dan dapat dipahami lebih komprehensif.
Mirip dengan seperti apa yang dikemukakan Piaget, Bruner berpendapat adanya tiga tahap perkembangan mental yang dilalui peserta didik dalam proses belajar. Namun ketiga tahap berpikir menurut Bruner ini tidak dikaitkan dengan usia peserta didik. Tiga tahap perkembangan mental menurut Bruner (dalam Hudojo, 1988: 57) tersebut adalah:
a. Enactive. Dalam tahap ini seseorang mempelajari suatu pengetahuan secara aktif dengan menggunakan/ memanipulasi benda-benda konkrit atau situasi nyata secara langsung.
Contoh masalah yang dirancang untuk materi pembelajaran PLSV di antaranya ditujukan untuk mengkonstruk prinsip yang dapat digunakan untuk memperoleh persamaan-persamaan yang ekuivalen. Untuk hal tersebut misalnya dapat diajukan masalah yang memuat ide tentang kesetimbangan neraca, seperti berikut ini.
Masalah : KELINCI PERCOBAAN
Dalam kegiatan praktikum Biologi, siswa kelas I A menggunakan kelinci sebagai objek percobaan. Mereka perlu mengetahui berat hewan ini. Pengukuran berat kelinci dilakukan dengan cara meletakkan kelinci dan 2 buah anak
timbangan 4 ons di satu lengan. Sedangkan lengan neraca yang lain diisi 3 buah anak timbangan 8 ons. Hal ini menyebabkan neraca dalam keadaan setimbang. Tentukan berat kelinci tersebut dan jelaskan bagaimana caramu menentukan berat kelinci itu.
Dalam tahap enactive seorang siswa dapat menyelesaikan masalah ini dengan memanipulasi seperangkat neraca dan anak-anak timbangan buatannya untuk memodelkan neraca sesungguhnya. Pada tahap ini mereka memanipulasi benda-benda konkrit untuk menyelesaikan masalah di atas.
b. Ikonic. Pada tahap ini kegiatan belajar sesorang sudah mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran dari objek-objek. Dalam tahap ini tidak lagi dilakukan manipulasi terhadap benda konkret secara langsung, namun anak sudah dapat memanipulasi dengan menggunakan gambaran dari objek.
Sesuai dengan pandangan Bruner di atas, Masalah: Kelinci Percobaan di atas dapat direpresentasikan lebih dengan gambar berikut ini.

Gambar 2.1. Model informal sebuah masalah persamaan
Pemanipulasian dengan gambar seperti di atas lebih abstrak dibanding dengan pemanipulasian benda konkrit tahap enactive sebelumnya.
c. Simbolic. Tahap terakhir ini adalah tahap memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak lagi terkait dengan objek maupun gambaran objek.
Sebagai contoh dari perkembangan mental siswa pada tahap simbolik ini adalah saat siswa sudah mengetahui bahwa salah satu prinsip untuk memperoleh persamaan yang ekuivalen adalah dengan mengurangi kedua ruas persamaan. Dengan mengetahui prinsip ini apabila mereka menemui persamaan 2x + 4 = 9 + x maka secara terurut mereka dapat memperoleh persamaan-persamaan yang ekuivalen seperti 2x + 4 – 4 = 9 + x – 9 atau 2x – x + 4 = 9 + x – x . Dalam memanipulasi simbil-simbol tersebut mereka sudah tidak lagi memerlukan gambaran seperti pada tahap ikonik.
Selain teori tentang tahap perkembangan mental di atas, pendapat Bruner yang lain yang sesuai dengan penelitian ini adalah teorema konstruksi (construction theorem) dan teorema notasi (notation theorem). Melalui teorema konstruksi, Bruner (dalam Pudjohartono, 2003: 23) berpendapat bahwa cara terbaik bagi siswa untuk mempelajari konsep atau prinsip matematika adalah dengan mengkonstruksi konsep atau prinsip tersebut. Alasannya adalah jika para siswa mengkonstruksi sendiri representasi dari suatu konsep atau prinsip maa mereka akan lebih mudah menemukan sendiri konsep atau prinsip yang terkandung dalam representasi itu. Selanjutnya mereka lebih mudah mengingat pengetahuan itu serta lebih mudah menerapkannya dalam konteks yang lain yang sesuai. Dalam teorema ini, sekali lagi Bruner menekankan perlunya penggunaan representasi konkret yang memungkinkan siswa untuk aktif.
Sedangkan melalui teorema notasi Bruner (dalam Pudjohartono, 2003: 25) menjelaskan bahwa representasi dari suatu materi akan lebih mudah dipahami siswa apabila didalam representasi itu digunakan notasi yang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Sebagai contoh, untuk siswa sekolah dasar yang berada dalam tahap operasi konkret kalimat yang berbunyai “ tentukan sebuah bilangan bulat yang jika ditambah 6 hasilnya 9” akan lebih mudah dinyatakan dalam bentuk persamaan “ ….. + 6 = 9”. Namun persamaan x + 6 = 9 merupakan representasi yang lebih sesuai untuk siswa SLTP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar