Rabu, Oktober 20, 2010

Sejarah Pulau Sebuku di Kalimantan Selatan


       Pulau Sebuku 
(Riwayatmu dulu dan nasibmu dimasa akan Datang) 
    Mungkin banyak yang tidak tahu, bahwa Pulau Sebuku sebuah pulau kecil yang berada disebelah tenggara pulau kalimantan dan merupakan bagian dari Kabupaten Kotabaru serta merupakan penghasil batubara telah berada dalam kitab Negara Kartagama dengan nama Sawaku karangan Mpu Prapanca (1365) yang ditulis pada masa kejayaan Raja Hayam Wuruk yang merupakan raja dari Kerajaan Majapahit.

         Sekitar tahun 1997 pulau ini mulai ditambang untuk diambil SDA (besi dan batu bara) sampai tulisan ini dibuat (Juni 2014) penambangan bijih besi dan penambangan batu bara masih berlangsung. Dari khabar yang didengar tenaga kerja lokal sudah mulai di PHK karena perusahan lebih memilih pekerja dari luar pulau sebuku.
          Pulau Sebuku, adalah salah satu dari beberapa pulau yang tersebar di perairan Selat Makassar, dan menjadi salah satu Daerah Kecamatan di Daerah Tingkat II Kabupaten Kotabaru Propinsi Kalimantan Selatan dengan nama Kecamatan Pulau Sebuku.Kecamatan ini dari sudut pandang geograpis terkesan terpencil dan terisolir, meskipun pada kenyataannya tidaklah begitu, karena kemapanan beberapa anggota masyarakatnya, menjadi penunjang bagi pengadaan sarana transportasi laut antar pulau yang cukup memadai sehingga pergerakan warga kecamatan tersebut dari dan ke Ibukota Kabupaten terjadi hampir setiap hari, dari pagi sampai sore hari. Disamping itu hampir separuh penduduknya hidup dengan mata pencaharian sebagai nelayan.Sebagai nelayan, berlayar  atau lebih tepatnya disebut melaut, dari satu tempat ketempat lain adalah keseharian, kalaupun tidak disebut keniscayaan. Sehingga, meskipun tinggal di daerah yang terpencil, komunikasi dengan dunia luar  tidaklah terhambat ke Pulau ini, mengingat kondisi alam di tempat ini, disamping terpencil, tanahnya tidak begitu subur dan ketersediaan air tawar dimusim kemarau relative sulit. Jika dibanding dengan kondisi alam di daerah yang mereka tinggalkan, maka dapat dipastikan bahwa kondisi tempat asal mereka jelas lebih baik dan lebih subur.  Disamping itu, ditahun – tahun awal perpindahan tersebut, areal – areal garapan yang belum digarap atau tak bertuan masih cukup luas, sehingga alasan ketiadaan areal juga menjadi tidak logis. Kalaupun perpindahan itu terjadi karena keterkaitan mata pencarian mereka dengan letak geografis Pulau ini yang berada di Sebelah Barat Selat Makasar dan sebelah Timur Selat Sebuku, sehingga cocok untuk komunitas nelayan, maka Orang Banjar pada umumnya sejak dahulu sampai sekarang mayoritas adalah petani –bukan nelayan- dan kalaupun ada yang menjadi nelayan, maka sifatnya lebih sebagai nelayan sungai atau nelayan laut sampingan. Oleh karena itu perpindahan ini sulit untuk disebut sebagai perpindahan ekonomi. Perpindahan dengan alasan Keamananlah yang terlihat lebih tepat sebagai motivasi utama. Karena daerah-daerah Hulu Sungai sejak abad ke 17 sampai dengan awal abad ke 20 pada umumnya merupakan titik – titik perjuangan yang  terhebat melawan penjajah Belanda dan Jepang di kawasan Kalimantan Selatan. Arus Pengungsian masyarakat pejuang maupun non pejuang di wilayah ini mayoritas menuju ke arah Pegunungan Meratus terutama di daerah-daerah Loksado, Hampang, Halong Batangalai, Batu Benawa dan Sungai Pinang. Gerak pengungsian ini jika sedikit diteruskan ke arah Timur Laut, akan sampai ke daerah Pesisir Pulau Kalimantan yang posisinya berseberangan dengan Pulau Laut Kotabaru. Namun karena di daerah-daerah pesisir ini juga banyak terjadi chaos antara masyarakat dengan penjajah, terutama di daerah Tanah Laut Pelaihari, Pagatan dan Pamukan, sehingga mengacu pada sifat dasar manusia yang cenderung terus mencari tempat yang lebih aman dari sebelumnya. Dapat diasumsikan pergerakan pengungsian itu, sebagian mencapai Pulau Laut Kotabaru bahkan beberapa terus sampai ke Pulau Sebuku, sebagai salah satu Pulau di sekitar Pulau Laut Kotabaru. Beberapa keterangan dari orang-orang tua yang masih hidup, seperti Sibat (Sungai Buah), H.Amir (Kanibungan) dan Masude (Sekapung) serta melihat dari beberapa fakta yang masih tersisa, bahwa penduduk asli Pulau Sebuku adalah masyarakat Banjar laut Pulau. Namun kerena masyarakat dari Suku Banjar Laut Pulau ini kurang mampu berintegrasi dengan masyarakat pendatang, lambat laut dominasi penduduk digeser oleh para pendatang yang umumnya dari kelompok pengungsian (banjar Pahuluan) atau pelancong (suku Bugis dan Mandar). 
      Keterpencilan Pulau Sebuku, pada waktu itu, ditambah dengan keterbatasan sarana transportasi, tentu sangat menguntungkan bagi pengungsi tersebut, untuk mendapatkan rasa aman dari ancaman-ancaman yang mungkin timbul sehingga perlahan namun pasti, asap-asap kehidupanpun mulai mengepul di Pulau ini. Kehidupan awal mereka dipulau sebuku dimulai dengan hidup berkelompok dan membentuk koloni.
      Meskipun tidak bertepatan, hadir pula di Pulau itu perantau-perantau  suku Bugis dan Mandar  dari Sulawesi Selatan. Disamping memiliki kemiripan motivasi dengan masyarakat Banjar (pengungsi). Factor budaya kelautan yang melekat erat, juga menjadi pendorong bagi mereka untuk menjelajahi samudera dan laut lepas yang terhampar begitu luas, sembari sewaktu-waktu singgah di Pulau-Pulau terdekat yang mereka lalui untuk beristirahat  atau  menghindari amukan gelombang yang sewaktu waktu tidak bersahabat, sekaligus memasarkan hasil tangkapannya  kepada penduduk setempat yang mereka singgahi.
          Pulau Sebuku, yang kedudukannya relative dekat dengan Pulau Sulawesi-pun tak luput sebagai tempat persinggahan tersebut. Dari sekedar singgah, pendatang Sulawesi ini sebagian mencoba menetap. Awalnya pendatang suku Bugis tinggal di daerah Bagu Riam dan Daeng Satuju. Lambat laun terbentuklah suatu komunitas baru yang turut memberi warna terhadap kemejemukan yang mulai merebak di seputaran Pulau Sebuku. Yakni komunitas suku Bugis, dan Mandar, namun karena faktor kesesuaian lokasi tempat tinggal dengan mata Pencaharian, setahap demi setahap masyarakat Bugis ini mendominasi daerah pesisir Utara dan Selatan (Sekapung, Rampa dan Tanjung Mangkok), sementara masyarakat Banjar beralih ke lokasi – lokasi Telaga, Bagu Riam, Kanibungan,Gumbil, Taluk Takapit, Pantai Buluh, Mandin, Pulau Tiwadak, Sarakaman, Sungai Basar dll. Peta penyebaran anggota masyarakat ini, terlihat dinamis, karena terjadi perpindahan-perpindahan letak desa secara bertahap pada kurun waktu berjalan, sehingga dapat ditemui beberapa lokasi bekas kampung yang sudah tidak ditinggali/ atau hanya satu-dua penduduk saja yang tersisa. Dan jadilah komunitas Pulau Sebuku seperti yang sekarang ini kita lihat dan rasakan.
GAMBARAN UMUM KEADAAN WILAYAH
DAN DESA SAMPAI DENGAN TAHUN 1999


  KECAMATAN PULAU SEBUKU
Pulau Sebuku mulanya merupakan bagian dari Kecamatan Brangas, dengan dusun – dusun kecil yang dikelompokkan menjadi 4 buah Desa, yakni Desa Sungai Bali (Sei Bali), Desa Sarakaman, Desa Kanibungan dan Desa Sekapung.
Petugas Kecamatan yang ada dilokasi ini
Kecamatan ini, sejak resmi menjadi sebuah kecamatan tersendiri – lepas dari Kecamatan Pulau Laut Timur Berangas - mengalami penambahan / pemekaran jumlah Desa.
Desa Sungai Bali dipecah menjadi empat buah Desa yaitu  Desa Sungai Bali (1) , Desa Rampa (2) dan Desa Tanjung Mangkuk (3) dan Desa Gunung Halaban (4). Selanjutnya Desa Sarakaman dibagi menjadi Desa Sarakaman (5), Desa Sungai Besar (6) dan Desa Belambus (7). Desa Sekapung (8) tidak mengalami pemekaran, Terakhir Desa Kanibungan di pecah menjadi  Desa Kanibungan (9) Sungai Alas (10), Desa Mandin Libak (11) dan Desa Mandin Luar (12).
Dari waktu kewaktu jumlah Desa ini senatiasa mengalami perubahan akibat adanya pemekaran atau perampingan.
Populasi penduduknya di tahun 2004 mencapai lebih dari 6000 jiwa dengan penyebaran yang tidak merata.Hampir setengah penduduknya bertempat tinggal daerah pesisir bagian Utara Pulau Sebuku, sepertiganya tinggal di pesisir bagian Selatan dan sisanya menyebar dari Selatan ke Utara.
Sungai Bali sebagai pusat administrasi juga dilengkapi dengan kantor Kecamatan, Polsek, Koramil dan Puskesmas
Sementara di Desa yang berada dalam lingkup wilayahnya dipimpin oleh Kepala-Kepala Desa yang lazim disebut Pembakal.  Kepala-Kepala Desa masih dipilih  secara tradisional.  Yaitu dipilih karena latar belakang kekayaan, penguasaan lahan, senioritas, hubungan kekeluargaan dan pengaruhnya di masyarakat, baru memasuki tahun – tahun awal Orde Reformasi, dinamika Demokrasi dalam pemilihan Kepala Desa dan Pejabat Desa lainnya semakin nampak.

DESA SEKAPUNG
Desa Sekapung, terletak di ujung Selatan Pulau Sebuku, bertopografi rendah (antara 0 – 25 m di atas permukaan laut). Masyarakat awal yang tinggal di lokasi ini adalah Suku Banjar yang tinggal dipesisir pantai. Namun karena pola hidup yang cenderung terbiasa homogen (tidak terbiasa bergabung dengan orang lain yang berbeda suku) serta geografis pantai yang tidak sesuai dengan mata pencaharian dan pola hidup semula, secara bertahap orang-orang Suku Laut Pulau ini bergeser ke Utara, dengan cara menjual tanahnya kepada para pendatang dari Sulawesi dan membeli atau menempati lokasi baru di wilayah Kanibungan.
Orang sulawesi pertama yang tinggal di Bagu Riam (3-4 km kesebelah Utara dari Desa Sekapung) dan pindah ke daerah Sekapung adalah keluarga H.Kanda dan H.Libu dari suku Mandar, yang selanjutnya menjadi cikal bakal bagi masyarakat Sekapung. Tempat tinggal keduanya sebelumnya adalah di Tanjung Pemancingan Kotabaru. Sehubungan dengan aktivitasnya mengambil telur penyu di Samber Gelap, beliau sering melintasi Pulau Sebuku, dan kadang-kadang  singgah di pulau dekat pesisir Sekapung, untuk menghindari gelombang yang relative besar. Pulau tersebut kemudian diberi nama Pulau Perdamaian atau pandamaian. H.Kanda memiliki 4 orang anak yang merupakan orang keturunan Sulawesi pertama yang dilahirkan di desa Sekapung, yaitu Husein, H.Dullah, Sairah dan H.Jabbar. Sementara H.Libu memiliki 5 orang anak yaitu Nahang, H.Dile, Taher, Merah dan Sahliah. Melihat dari usia cucu H.Kanda yang ada sekarang (tahun 2004), diperkirakan awal keberadaan orang Sulawesi di desa Sekapung terjadi di akhir abad ke 19.
Sebagian besar warga sekapung yang ada saat tulisan ini dibuat, adalah keturunan H.Kanda dari generasi ke tiga (cucu), empat (buyut) lima (intah/canggah) dan keenam (muning/wareng).
Generasi yang dominan adalah generasi keempat dan kelima yang menempati usia praproduktif.
Kuburan H.Kanda dan Husein terdapat di bagian Barat Laut Desa, dekat dengan lokasi Tanjung Kepala. Daerah ini menurut keterangan beberapa orang tua di Sekapung, merupakan lokasi awal Desa Sekapung, namun sekarang sudah tidak ditinggali lagi. Sementara kuburan H.Libu terdapat di sebelah Utara Desa, dikawasan yang sekarang disebut sebagai Kampung Tengah, berseberangan dengan Gedung Olah Raga yang dibangun pada tahun 2004.
Kepala Desa definitive pertama yang menjabat di tahun 1930-an adalah Bapak Cokkong, dilanjutkan oleh Bapak Tengge dan Nanti.Bapak Nanti, adalah Kepala Desa dari Suku Banjar Laut Pulau yang terakhir di Sekapung. Selanjutnya kepemimpinan beralih ke Suku Bugis/Mandar atas nama Tahir bin H. Libu, lalu H.Abul (menantu H.Libu), Mashude bin H.Dullah bin H.Kanda, Darmin bin Saibe binti Sairah bin H.Kanda. Dan terakhir (pejabat Kepala Desa saat tulisan ini dibuat) adalah Juhriansyah bin H.Jebbar bin H.Kanda lalu Abdul Hafid (2009)
Peralihan kepemimpinan dari Suku Banjar Laut Pulau (sekarang disebut penduduk Pulau Laut) ke Suku Bugis/Mandar ini juga menandai perubahan dominasi anggota masyarakat, yang semula didominasi Suku Banjar Laut Pulau menjadi hampir keseluruhan dari Suku Bugis dan Mandar.
Jumlah anggota masyarakat berdasarkan cacah pada tahun 1999 mencapai 1052 jiwa, terdiri atas 265 keluarga dengan pembagian berdasarkan Rukun Tetangga adalah RT I 255 Jiwa, RT II  166 Jiwa, RT III 269 Jiwa, RT IV  238 Jiwa dan RT V   124 Jiwa. Kepadatan penduduk mencapai 28 jiwa per satu kilometer perseginya.
Migrasi yang terjadi di Kawasan Sekapung lebih dominan bersifat Migrasi masuk ketimbang keluar. Peningkatan jumlah Penduduk akibat migrasi ini terlihat tegas sejak tahun 1997 hingga sekarang. Hal ini dilatar belakangi oleh eksistensi Perusahaan Pertambangan Batu Bara PT.BCS, PT.JHCI/LCI, CV Hasrat, PT.Geoservices, PT.BUMA, PT.SILO  dan Perusahaan Jasa PT.PBU serta CV.Padang Kuring, sehingga motif migrasi kedalam yang terjadi di Desa Sekapung adalah motif mencari pekerjaan.
Sejauh ini tidak ada pencatatan administrasi yang tertib  terhadap kehadiran imigran-imigran ini, sehingga terjadi kesulitan untuk mengidentifikasikan para pendatang tersebut.
Kaitan antara bentuk muka bumi dengan kegiatan ekonomi penduduk Sekapung terlihat sangat jelas.  Tempat tinggal mereka yang berada di kawasan tepi pantai  sejalan dengan mata pencaharian mereka sebagai nelayan, meskipun dari waktu kewaktu jumlah nelayan ini mengalami penurunan akibat beberapa diantara mereka beralih mata pencaharian, baik sebagai  karyawan perusahaan, pedagang atau lainnya. Dalam aktivitasnya, para nelayan ini mayoritas mempergunakan sarana balapan (sejenis kapal kecil bermesin) dan sebagian kecilnya mempergunakan perahu dayung. Metode pencarian ikan juga berubah-ubah sesuai dengan musim tangkapan. Metode penangkapan itu antara lain; mengondrong (mencari udang), membagang (mencari cumi) merempa (menjala ikan pantai) Matonda-tonda (memancing ikan sambil berputar mempergunakan balapan) Ma’meng (memancing biasa) atau mencari ubur-ubur.
Dari survey yang dilakukan tahun 2000 tercatat jumlah nelayan mencapai 361 orang atau 63,89 % dari jumlah penduduk usia produktif ( usia dewasa ), selebihnya 65 orang (11,5 %) sebagai Karyawan Perusahaan, 12 orang (2,12 %) Guru, 14 orang (2,48 %) pedagang , 39 orang petani ( 6,90 %) dan selebihnya ( 13.92 %) tidak memiliki mata pencaharian yang tertentu .  Angka pengangguran tak kentara menjadi cukup besar karena banyaknya anak usia sekolah ( SLTP, SLTA DAN PT ) yang tidak lagi melanjutkan pendidikannya, tetapi juga tidak memiliki mata pencaharian yang pasti. Sebagian besar dari mereka ikut kegiatan orang tuanya. Sehingga angka pengangguran ini masih dalam katagori pengangguran tidak ketara. Angka ketergantungannya mencapai 55,11 menunjukkan angka ketergantungan yang tinggi.
Dari sudut pandang pendidikan, jumlah penduduk usia sekolah yang aktif mengikuti pendidikan mencapai 163 siswa  SD  atau 52,58 % dari 310 jumlah penduduk usia sekolah, 35 siswa SMP ( 11,29 %) dan selebihnya 36,13 % adalah tamatan SDN atau yang berhenti dari SD yang tidak lagi melanjutkan pendidikannya ke SMP.
       Pada dasarnya kondisi lingkungan di wilayah ini, meskipun lamban tapi tetap bersifat dinamis, jumlah bangunan rumah yang terdapat di daerah sekapung sampai awal tahun 2000  mencapai
245 buah, nyaris eqiupalen  dengan jumlah Rumah Tangga yang mencapai 265 Keluarga . Kondisi Perumahannyapun relatif cukup baik dengan uraian 2 buah (0,8%) rumah permanen, 6 buah (2,45%) semi permanen 26 buah(10,61%) rumah ulin dan selebihnya rumah ulin - papan atau  rumah papan. Di daerah Kalimantan Selatan ,pada umumnya atap rumah manjadi salah satu indikator untuk mengetahui tingkat kesejahteraan pemilik rumah, jumlah rumah atap daun (katagori pra sejahtera) mencapai 85 buah atau 34,65 % dari jumlah rumah yang ada, rumah atap sirap (katagori sejahtera) 75 buah (30.61%) 19 buah (7,75%) atap genteng dan selebihnya 14,99 % atap seng.
Tempat peribadatan yang ada di daerah ini terdiri atas satu buah mesjid dan satu buah mushola. Bangunan umum lainnya adalah  satu bangunan Sekolah Dasar,satu bangunan SMPN 2 Pulau Sebuku, satu SMA Model Al Khawarizmi, satu Puskesmas Pembantu, dan satu Rumah Bidan. Sementara penerangan diusahakan sendiri secara pribadi oleh penduduk setempat melalui pengadaan genset. Bagi mereka yang tidak mampu membeli genset ini tetap dapat memperoleh penerangan dengan menyambung pada pemilik genset terdekat, dengan membayar suatu biaya tertentu sebagi uang pengganti biaya perawatan dan pemeliharaan.  Dari hasil survey tercatat 101 rumah memiliki atau memanfaatkan jasa listrik tersebut, selebihnya masih mempergunakan lampu minyak.
Sarana jalan di Desa ini masih berupa jalan setapak dengan kondisi berpasir dan tidak ada saluran pembuangan air dikedua bahu jalannya. Sehingga bila tejadi hujan timbul beberapa genangan air yang kadang - kadang cukup dalam (mencapai 20 cm). Tapi karena jalannya berpasiwr, genangan itu tidak bertahan lama.
       Untuk sumber air bersih penduduk mengambil air bersih dari pancur (mata air) dan sumur. Sejauh ini sumber - sumber air itu dianggap cukup memadai.
Secara garis besar, desa Sekapung merupakan salah satu desa terbaik di wilayah Pulau Sebuku, setelah Sungai Bali dan Rampa.
DESA KANIBUNGAN

Desa yang terletak disebelah utara Desa Sekapung ini merupakan desa yang berpenduduk mayoritas suku Banjar Pahuluan. Merupakan satu dari tiga desa tertua di Pulau ini, dengan topografi antara 0 – 50 m di atas permukaan laut. Kepala desa yang pertama menjabat adalah Pembakal Pugu, lalu dilanjutkan oleh Pembakal Sibli, pembakal H.Basuni bin H.Kadri, pembakal Dahlan, pambakal Embo Dauda, pembakal Hamzah dan pembakal H.Amir bin H.Kadri.
Jika melihat dari salah satu pembakal yang bernama Bugis (Embo Dauda), terlihat bahwa integrasi antara dua suku (Banjar dan Bugis) sudah terjadi sejak tahun 1950-an, atau sebelum itu. Kalaupun terjadi keadaan hubungan yang tidak harmonis antara rentang waktu tahun 1970 – 1980-an, lebih dominan terjadi dikalangan pemuda, sementara ditingkatan usia dewasa/tua, tetap terjalin hubungan yang baik.
Sebagaimana di Desa Sekapung, penduduk asli Desa Kanibungan adalah dari masyarakat Banjar Laut Pulau.
Meskipun sama – sama dari Suku Banjar, antara Banjar Laut Pulau dengan Banjar Pahuluan, ada beberapa perbedaan pola kehidupan. Suku Banjar Pahuluan lebih mirip dengan masyarakat Malayu pada umumnya, dengan agama Islam sebagai agama mayoritas. Sementara Banjar Laut Pulau lebih mirip dengan Suku Dayak dengan agama Islam bercampur Kaharingan sebagai agama mayoritas. Namun demikian perlu kajian lebih lanjut mengenai perbedaan kedua suku ini.
Penduduk dari Banjar Pahuluan yang pertama tinggal di Desa ini, sulit untuk diprediksi. Namun jika melihat bahwa mayoritas penduduk Kanibungan adalah keturunan H.Ismail,maka dapat diasumsikan bahwa orang pertama dari Suku Banjar Pahuluan  yang tinggal di Desa Kanibungan adalah dari orang yang berhubungan nasap dengan H.Ismail. Beberapa anggota masyarakat yang juga berhubungan nasap dengan H.Ismail sebagian sudah merantau keluar (ke Sungai Buah, Seratak, Berangas, Teluk Gosong,Kotabaru, Banjarmasin,Balikpapan atau daerah lainnya). Sementara penduduk yang masih menetap di Desa Kanibungan sebagian besar dari keturunan Hj.Halimah (istri dari H.Kadri) bin H. Ismail.
Penduduk Laut Pulau umumnya tidak terbiasa hidup dalam satu komunitas dengan suku lain. Sehingga mereka biasanya membuat kelompok perumahan tersendiri di kawasan yang agak terpencil. Saat ini sisa – sisa keturunan dari Penduduk Laut Pulau terdapat di lokasi yang bernama Telaga (suatu areal antara Desa Sekapung dan Kanibungan) dan sebagian kecil di antaranya berintegrasi dengan masyarakat Banjar Pahuluan dalam hubungan perkawinan.
H.Amir yang sampai tulisan ini dibuat masih menjabat sebagai Kepala Desa Definitif, adalah kepala desa tertua sekaligus paling lama menjabat, diantara kepala-kepala desa di seluruh Pulau Sebuku. Beliau mula menjabat di tahun 1960 dalam usia sekitar 40 tahun. Jadi sampai tahun 2004, usia beliau sudah mencapai 85 tahun dan telah menjabat sebagai Kepala Desa selama hampir 45 tahun.
Mulanya Desa Kanibungan melingkupi beberapa Dusun antara lain; Bagu Riam, Kanibungan, Sungai Binjai, Gumbil, Pandan, Taluk Takapit, Pantai Buluh, Mandin Libak, Mandin Luar dan Mirih. Terpisah-pisahnya kelompok ini dalam dusun-dusun kecil selaras dengan lokasi-lokasi garapan masing-masing kelompok dan tempat-tempat pinggir sungai yang ideal. Sampai tahun 2004, Desa Kanibungan hanya terdiri atas dua dusun yaitu Bagu (mulanya Sungai Binjai) dan Sungai Alas (penduduk Taluk Takapit yang pindah ke lokasi baru berdampingan di sebelah utara Bagu). Bagu riam yang mulanya ditempati oleh masyarakat suku Bugis, hanya tinggal bekas – bekas perkebunannya yang tersisa, demikian pula Taluk Takapit dan Pantai Buluh. Sementara Mandin Libak,Mandin Luar dan Mirih memisah menjadi satu desa baru. Sungai Alas sempat dimekarkan menjadi desa baru terpisah dengan Kanibungan, dan sempat dipimpin oleh dua periode Kepala desa, yaitu Ahmad Rasidi dan Sahip. Tetapi karena jumlah penduduknya yang sedikit, sungai Alas kemudian digabung kembali dengan Kanibungan diakhir tahun 1990-an      
Desa yang dalam cacah jiwa tahun 1999, berpenduduk mencapai 586  jiwa ini, terbagi dalam dua Rukun Tetangga dengan sebaran penduduk sebagai berikut :
1) RT I   465 Jiwa
2) RT II  121 Jiwa   
Wilayah RT I meliputi daerah Bagu / Kanibungan sedangkan wilayah RT II meliputi daerah Sungai Alas.
Kepadatan Penduduk Desa Kanibungan mencapai 25 jiwa per satu kilimeter perseginya. Angka ini mengindikasikan bahwa
kepadatan penduduk di wilayah Kanibungan, seperti penduduk di Desa lainnya masih dalam katagori kecil.
Migrasi yang terjadi di Kawasan Kanibungan ,mirip dengan yang terjadi di Sekapung yaitu lebih dominan bersifat Migrasi masuk ketimbang keluar. Alasan yang melatarbelakanginyapun sama, yaitu motif ekonomi (mencari pekerjaan). Kalaupun ada perbedaan, maka, di Kanibungan terdapat migrasi keluar atau ke Lokasi baru. Hal ini  terjadi sebelum kehadiran perusahaan dengan motif mencari sumber penghidupan lebih baik ( motif ekonomi), setelah kehadiran perusahaan , migrasi jenis ini nyaris tidak terjadi lagi. Sebagaimana lazimnya Penduduk yang asal usulnya dari Hulu Sungai Kalimantan Selatan, mayoritas penduduknya adalah Petani Karet dan lada atau lebih umum disebut sahang. Dari survey pertama yang dilakukan tercatat jumlah petani mencapai 140  orang atau 35.94% dari jumlah penduduk usia produktif ( usia dewasa ), selebihnya 77  orang (19.54%) sebagai Karyawan Perusahaan, 4 orang (1.01 %) Guru, 5 orang (1.26%) pedagang ,dan selebihnya (42.25%) tidak memiliki mata pencaharian yang tertentu.  Tingginya angka pengangguran ini tidak terlepas dari masih sempitnya cara berfikir dan keinginan untuk meningkatkan taraf hidup melalui usaha yang nyata. Sebagian kecil dari mereka ikut kegiatan orang tuanya. Sehingga angka pengangguran ini masih dalam katagori pengangguran tidak ketara. Angka ketergantungannya mencapai 41 menunjukkan angka minimal pada kelompok ketergantungan yang tinggi,
Jumlah penduduk usia sekolah yang aktif mengikuti pendidikan mencapai 59 siswa  SD atau 37.58% dari 157 jumlah penduduk usia sekolah, 10 siswa SMP (6.36%) dan selebihnya 56.06% adalah tamatan SD atau yang berhenti dari SD yang tidak lagi melanjutkan pendidikannya ke SMP. Penduduk yang tidak pernah mengecap pendidikan sama sekali atau pernah tetapi tidak sampai tamat mencapai 234 orang atau 39.93% dari jumlah penduduk keseluruhan. 
Dari segi kemapaman infrastruktur, Desa Kanibungan masih dibawah Desa Sekapung, dengan jumlah bangunan rumah mencapai 101 buah, jumlah ini belum memadai jika dibandingkan dengan  jumlah Rumah Tangga yang mencapai 162 Keluarga, sehingga masih ada sekitar 61 Keluarga yang belum memiliki Rumah sendiri (menumpang/menyewa) . Kondisi Perumahannyapun relatif kurang baik, sebahagian besar memiliki ventilasi yang
kurang memadai. Fasilitas umum yang ada di daerah ini terdiri atas dua  buah mesjid . Satu di wilayah Bagu dan satu di wilayah Sungai Alas. Selain Dua Mesjid ini sampai tahun 1999 juga terdapat satu bangunan SD, satu rumah bidan, satu pasar tradisional yang sudah kumuh dan tua serta pelabuhan laut yang terletak berdampingan dengan pasar.
Untuk penerangan, mayoritas mempergunakan mesin  generator set. Selebihnya ada yang mempergunakan petromak, lampu teplok/minyak dll.
Hubungan ke desa lain berupa sarana jalan setapak , yang pada musim penghujan sebagian lokasi berlumpur dan licin .  Masyarakat setempat yang akan bepergian ke desa lain umumnya berjalan kaki atau mempergunakan sarana sepeda motor yang jumlahnya masih sangat terbatas.
Sungai yang mengalir di sepanjang desa, menjadi tumpuan utama dalam memenuhi kebutuhan masak, mandi, cuci dan Kakus. Beberapa buah sumur akan menjadi alternative berikutnya jika musim kemarau tiba, karena umumnya sungai akan menjadi kering.
(bersambung . . . .) 
(Sumber : penelitian Apri Siswanto, dengan beberapa tambahan oleh penulis sendiri) 
     

Rabu, Oktober 13, 2010

Logika . . . . (apakah cuma matematika yang mengakuinya?)

Logika, apakah logika itu?
kadang penulis sendiri bingung bila ingin mendefinisikan kata "logika", karena sering kali kita mendengar orang mengatakan "berdasarkan logika. . . ." , dari sini kita bisa mengambil kesimpulan : bahwa logika adalah sesuatu hal yang kenyataannya bisa diterima oleh akal pemikiran manusia. Bagaimana dengan Logika Matematika? Sampai ada yang menulis buku (Abdul Halim Fathani) bahwa "matematika adalah Hakikat dan Logika", lalu dicover depan Bertrand Russel  mengatakan "Metematika adalah satu-satunya ilmu pengetahuan dimana tak seorangpun mengetahui apa yang dikatakan begitu pula jika apa pun yang dikatakan itu adalah benar".
Bagaimana memahami konsep Logika matematika?
Ada beberapa hal yang harus dikuasai bila ingin memahami konsep logika matematika a.l:
1. Pernyataan
    a. Pernyataan
    b. Variabel dan Konstanta
    c. Kalimat Terbuka 
2. Kata Hubung Kalimat
   a. Negasi (Ingkaran atau Penyangkalan)
   b. Konjungsi (dan)
   c. Disjungsi (atau)
   d. Kondisional (Implikasi atau Pernyataan bersyarat)
   e. Konversi, Inversi, dan Kontraposisi
   f. Bikondisional
   g. Kesepakatan Penggunaan Kata Hubung Kalimat